Jumat, 07 September 2012

Industrialisasi (perikanan) untuk siapa?
Beberapa bulan lalu ingatan kita tertuju dengan wacana baru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan sistem logistik ikan nasional, sebagai langkah membenahi distribusi ikan di tanah air. Pemerintah bersama stakeholders yang lain berusaha menyiapkan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) untuk membangun mata rantai distribusi ikan dari daerah, sebagai langkah membenahi distribusi produk perikanan. Alasannya penyebaran distribusi ikan dari sentra produksi belum optimal, sementara aspek kontuinitas pasokan sangat diperlukan sebagai kebutuhan konsumsi dan industri pengolahan perikanan. Kebijakan dengan kredo Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN), merupakan bagian dari pengembangan Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS). Lewat sambutan menteri kelautan dan perikanan pada peringatan hari nusantara tahun 2011, bahwa industrialisasi perikanan merupakan salah satu kebijakan kelautan yang pro rakyat. Kebijakan ini menggunakan pendekatan kawasan industri berbasis ekonomi kerakyatan sehingga hasil pembangunan dapat meningkatkan ekonomi lokal dan kesejahteraan masyarakat (www. kkp.go.id ). Berangkat dari latar belakang dan sambutan menteri baru tersebut, nampaknya serius untuk menerapkan Kebijakan dengan kredo Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dalam pembenahan sistem untuk ketersediaan bahan baku (ikan) kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Namun perlu kita cermati bersama bahwasanya sistem yang ditawarkan kementerian kelautan dan perikanan mengenai konsep (SLIN), inipun pernah diterapkan juga dalam sistem yang dipakai oleh sektor pertanian dalam hal ini sistem BULOG. Apapun sebutan dan namanya, sistem tersebut pada intinya sudah pernah dipakai oleh kementerian pertaniam dan sejauh ini belum bisa dikatakan sebagai sistem yang berhasil, toh buktinya sektor pertanian kita saat ini masih bergantung dengan produk impor seperti padi,gula dll. Bahasan kita bukan fokus pada evaluasi sebuah sistem yang diterapkan oleh kementan, akan tetapi lebih fokus untuk mempertimbangkan dan mengkritisi dalam hal ini penerapan sistem SLIN yang akan di terapkan oleh kementerian kelautan dan perikanan untuk ketersediaan bahan baku ikan dalam negeri. Jika kementerian kelautan dan perikanan akan menerapkan konsep yang nantinya akan membawa dampak terhadap kesejateraan masyarakat dan pro terhadap rakyat, perlulah sejenak untuk berkunjung ke kampung-kampung pesisir agar supaya konsep tersebut tidak sia-sia dan bertentangan dengan kondisi yang ada di lapangan. Sebagai contoh nyata, misalnya disaat kebutuhan industri pengolahan perikanan dibidang pemindangan dan pengalengan mengalami kelangkaan bahan baku ikan pemerintah lebih memilih membuat kebijakan impor untuk menutupi kelangkaan bahan baku, hal asil keran impor terbuka lebar dan beberapa bulan yang lalu kita dihebohkan dengan kebanjiran ikan impor sampai meramba pasar tradisional dan membuat resah pedagang resah dikarenakan ikan yang di jual lebih murah ketimbang ikan lokal. Maka akan menjadi sebuah persoalan baru, manakala konsep SLIN ini berjalan tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas armada nelayan tradisional, teknologi tepat guna nelayan, penyediaan lahan produksi budidaya tambak untuk nelayan dan pembekalan untuk penguatan kapasitas sumberdaya manusianya. Sebagai generasi muda, yang akan menggantikan tampuk kepemimpinan dimasa yang akan datang wajib kiranya untuk kita bersama–sama stakeholders sektor perikanan bergandengan tangan untuk ikut serta berkontribusi dalam sumbangsi pemikiran dan ikut serta dalam mengawal jalannya pembanguna bangsa dan negara yang lebih baik. *Ahmad Tabroni Alumni FPIK Universitas Padjadjaran Ketua Departemen Jaringan dan Konsolidasi Serikat Nelayan Indonesia Dimuat di Harian Umum Media Fajar Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar